Oleh Abdullah Al-Jirani, Muballigh dan Pengkaji Mazhab Syafi’i Tinggal di Sukoharjo Jawa Tengah
Sebelumnya perlu untuk diketahui, bahwa akikah hukumnya sunah muakadah (sunah yang ditekankan), bukan perkara yang wajib. Asalnya, kesunahan akikah dibebankan kepada orang tua atau wali anak, dimulai dari semenjak bayi lahir secara sempurna sampai anak tersebut mencapai usai baligh. Adapun setelah baligh, maka tuntutan kepada orang tua atau wali telah gugur (Al-Fiqh Al-Manhaji, vol. III, hlm. 56).
Sekarang muncul pertanyaan, bagaimana jika saat kecil belum diakikahi (karena sebab-sebab tertentu), bolehkah setelah dewasa mengakikahi dirinya sendiri?
Para ulama menyebutkan, bahwa dalam kondisi seperti ini ada dua pilihan ; antara mengakikahi diri sendiri dan tidak. Artinya, keduanya boleh untuk dilakukan. Tapi yang paling utama dan baik, adalah tetap mengakikahi diri sendiri (jika memang mampu). Imam Al-Baijuri rahimahullah menyatakan:
فَهُوَ مُخَيَّرٌ فِيْ ذَلِكَ فَإِمَّا أَنْ يَعُقَّ عَنْ نَفْسِهِ أَوْ يَتْرُكَهُ عَلَى مَا هُوَ ظَاهِرُ عِبَارَتِهِ. لَكِنْ عِبَارَةُ بَعْضِهِمْ : فَيَحْسُنُ أَنْ يَعُقَّ عَنْ نَفْسِهِ تَدَارُكاً لِمَا فَاتَ. وَ هَذِهِ أَوْلَى
Maka dia diberi pilihan dalam hal itu, mungkin mengakikahi diri sendiri atau meninggalkannya sesuai zahir redaksinya (dalam kitab Fath Al-Qarib). Akan tetapi redaksi sebagian mereka (berbunyi): “Baik (baginya) mengakikahi diri sendiri untuk menyusul/mengejar sesuatu yang telah terlewat.” (Syekh Al-Baijuri) berkata, “Dan redaksi ini lebih utama.” (Hasyiyah Al-Baijuri, vol. II, Hlm. 616)
Bahkan dalam “Tuhfah Al-Muhtaj”, (vol IX, hlm. 371), disebutkan:
وَفِي مَشْرُوعِيَّتِهَا لِلْوَلَدِ حِينَئِذٍ بَعْدَ بُلُوغِهِ احْتِمَالَانِ فِي شَرْحِ الْعُبَابِ وَأَنَّ ظَاهِرَ إطْلَاقِهِمْ سَنُّهَا لِمَنْ لَمْ يُعَقَّ عَنْهُ بَعْدَ بُلُوغِهِ
“Dalam masalah disyariatkannya akikah untuk anak setelah baligh ketika itu, ada dua kemungkinan. Dalam syarh Al-‘Ubab, sesungguhnya zahir pemutlakkan mereka adalah kesunahannya (akikah) bagi seorang yang belum diakikahi setelah ia mencapai usia baligh.”
Kenapa tetap dianjurkan? Karena, walaupun asal tuntutan itu dibebankan kepada orang tua atau wali, namun saat dia dewasa/baligh, dia telah bersendiri dari orang tuanya dalam hal ini (punya tanggung jawab sendiri). Maka anjuran untuk mengakikahi tidaklah hilang dari dirinya disebabkan gugurnya tuntutan dari asalnya (orang tua atau wali). (Tuhfah Al-Muhtaj, jilid ix, hlm. 372).
Adapun hadis yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang berbunyi:
أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi diri beliau sendiri setelah kenabian.”(HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra: 9/505, Al-Bazzar dalam Al-Bahru Az-Zakhkhar ; 13/478 dan yang lainnya dari Anas bin Malik ra).
Hadis di atas dinilai batil oleh Imam An-Nawawi. (simak : Al-Majmu’, jilid vii, hlm. 431). Dengan demikian, bagi ulama yang menyakini hadis ini lemah, tidak bersandar kepadanya dalam melakukan istimbath hukum. Tapi mencukupkan diri dengan menggunakan analisa dan argumentasi sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Numun, ada sebagian ulama yang tidak sependapat dengan imam An-Nawawi dalam menilai hadis di atas, di antaranya Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) rahimahullah. Menurut beliau, hadis tersebut tidak batil dari seluruh jalannya. Ada sebagian jalan periwayatan yang bisa dipakai untuk berhujjah. Dan jalan ini telah dishahihkan oleh Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Haitsami (Al-Haitsami, ya, bukan Al-Haitami. Keduanya dua orang yang berbeda). Beliau (Ibnu Hajar Al-Haitami) berkata:
قَالَ فِي الْمَجْمُوعِ بَاطِلٌ وَكَأَنَّهُ قَلَّدَ فِي ذَلِكَ إنْكَارَ الْبَيْهَقِيّ وَغَيْرِهِ لَهُ وَلَيْسَ الْأَمْرُ كَمَا قَالُوا فِي كُلِّ طُرُقِهِ فَقَدْ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْبَزَّارُ وَالطَّبَرَانِيُّ مِنْ طُرُقٍ قَالَ الْحَافِظُ الْهَيْثَمِيُّ فِي أَحَدِهَا أَنَّ رِجَالَهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ إلَّا وَاحِدًا وَهُوَ ثِقَةٌ
“Beliau (Imam An-Nawawi) menyatakan dalam Al-Majmu’ ; “(hadis di atas) batil”. (Imam Al-Haitami berkomentar): Sepertinya, dalam hal itu beliau taqlid* (mengikuti) pengingkaran imam Al-Baihaqi dan selainnya terhadapnya. Dan relaitanya, tidak semua jalan-jalan periwayatannya sebagaimana yang mereka nyatakan. Ahmad, Al-Bazzar, dan Ath-Thabrani telah meriwayatkan dari berbagai jalan (yang lain). Al-Hafidz Al-Haitsami berkata : “Dalam salah satu jalan periwayatannya, ada yang para perawinya adalah perawi Ash-Shahih kecuali satu, dan yang satu ini kondisinya tsiqah (orang kepercayaan).” (Tuhfah Al-Muhtaj, vol. ix, hlm. 371)
Mereka yang mengikuti pendapat ulama yang menshahihkan hadis di atas, tentunya akan menjadikannya sebagai dalil dalam masalah ini. Dan tashih dari Al-Hafidz Al-Haitsami sudah lebih dari cukup. Terlepas apakah hadis di atas lemah atau shahih, maka kesimpulan hukum dalam masalah ini tetap berdasarkan dalil, baik secara tidak langsung (jika hadisnya lemah dan argumentnya sudah disebutkan di atas) dan secara langsung (jika hadisnya shahih).**
Kesimpulan: Bagi seorang yang belum diakikahi ketika kecil, yang paling baik dan utama adalah mengakikahi dirinya sendiri saat dewasa jika memang mampu. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat. Mohon maaf jika ada kekurangan. Wallahu a’lam.
(Mayoritas referensi yang dipakai untuk menyusun artikel ini menggunakan kitab-kitab yang telah diwakafkan. Teriring doa, semoga para pewakaf mendapatkan amal jariyah juga dari karya sederhana ini. Amin.)
-Selesai-
Catatan:
*Jika sekelas Imam An-Nawawi yang level ilmu hadisnya demikian tinggi, bahkan dikelompokkan ke dalam barisan “amirul mukminin fiil hadis” (Punggawanya umat Islam dalam bidang ilmu hadis) saja masih taqlid kepada imam Al-Baihaqi dalam menilai validitas suatu hadis, lalu bagaimana dengan kita??
**PENTING: Dalam naskah muktamad (standar) Al-Buwaithi disebutkan kalimat, “Tidak ada yang mengakikahi orang yang telah dewasa.”
Hati-hati dalam memahami pernyataan beliau di atas. Perlu diperhatikan, bahwa redaksi ini bukan berarti menunjukkan beliau melarang orang yang telah dewasa untuk mengakikahi dirinya sendiri. Tapi maksudnya adalah “Orang lain (orang tua/walinya) tidak (lagi dituntut untuk) mengakikahi orang yang telah dewasa.” Dengan demikian, hal ini tidak meniadakan akan kebolehkan atau bahkan anjuran orang yang telah dewasa untuk mengakikahi dirinya sendiri. Demikian dijelaskan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ (8/431).
Dari sini kita bisa mengambil pelajaran, bahwa untuk memahami pernyataan-pernyataan para ulama Syafi’iyyah, sampai pun berbagai pernyataan imam Asy-Syafi’i sebagai muassis (pendiri) mazhab, tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, apalagi mereka yang tidak mengerti tentang mazhab Syafi’i kecuali kulitnya. Yang pantas adalah para murid-murid imam Syafi’i, serta para ulama setelahnya yang mengambil ilmu dari mereka secara bersanad. Ada ucapan yang berbunyi, “Penghuni rumah lebih tahu tentang isi rumahnya.”