Oleh Masyhari, Pembina Sahabat Literasi IAI Cirebon, Founder Sobat Literasi Nusantara
Rumah Baca – Ada beberapa hal penting yang sering diabaikan oleh beberapa penulis, khususnya pemula. Sejumlah poin ini saya anggap penting setidaknya karena dua alasan: pertama, tulisan kita akan mudah dipahami oleh pembaca, sehingga pesan kita tersampaikan, dan kedua, tulisan kita akan mudah diterima oleh editor media massa yang kita tuju. Bukankah kedua hal ini kita harapkan ketika menulis? Nah, apa saja poin-poin penting yang saya maksud?
Pertama: Penggunaan Kalimat Efektif
Saya sering menemukan tulisan mahasiswa di kelas, dalam bimbingan skripsi, dan lain sebagainya, yang kurang memperhatikan penggunaan kalimat efektif. Atau bisa jadi bahkan saya sendiri terkadang terjerembab dalam hal yang satu ini. Maafkan ya gaes. Saya juga masih dalam proses belajar.
Apa itu kalimat efektif? Kalimat efektif dalam menulis berarti kalimat yang memperhatikan proses penyampaian oleh penulis dan proses penerimaan oleh pembaca. Pesan yang dikehendaki oleh penulis sama dengan yang dipahami oleh pembaca. Artinya, kalimat yang digunakan oleh penulis benar-benar mewakili pesan penulis, sehingga pesannya tersampaikan secara mudah, jelas dan lengkap kepada pembaca.
Kalimat efektif ditandai dengan kesatuan ide pokok dalam sebuah kalimat. Selanjutnya, antara unsur-unsur pembentuk kalimat, yaitu frasa, klausa serta tanda baca yang membentuk subjek, prediket, objek dan pelengkapnya ada relasi keterpaduan. Inilah yang dimaksud dengan kepaduan.
Hal berikutnya yang menjadi ciri kalimat efektif yaitu kesejajaran dalam pola, susunan kata dan frasa yang dipakai dalam kalimat.
Yang keempat yaitu pemfokusan. Jangan sampai penulis gagal fokus, sehingga pembaca kurang bisa menangkap maksud penulis.
Hal berikutnya yaitu penghematan atau efisiensi kata. Efisiensi berarti menghindari pengulangan yang tidak perlu, tidak mubazir, tidak menjamakkan kata yang berbentuk jamak, seperti kata: para anak-anak murid-murid, dan lain sebagainya.
Kedua: Penggunaan Kalimat dan Paragraf
Ada satu pesan penting yang pernah saya baca dari Linda Razad, eks editor senior penerbit Quanta Kompas Gramedia, yaitu jangan buat lelah pembaca. Nah, di antara yang membuat pembaca merasa lelah yaitu kalimat yang terlampau panjang, tanpa titik dan koma. Paragraf yang terlalu panjang juga membuat lelah pembaca, sehingga ia enggan melanjutkan bacaan. Paragraf yang terlalu panjang juga sulit dipahami ide pokok dan maksudnya.
Oleh karena itu, seorang penulis sebaiknya menggunakan kalimat-kalimat pendek namun sempurna, atau istilahnya bernas, singkat dan padat. Hindari penggunaan kalimat yang terlalu panjang.
Namun yang terpenting lagi, dalam sebuah kalimat harus jelas subjek dan prediketnya. Berapa ukuran panjang-pendek sebuah kalimat, menurut hemat saya, satu kalimat cukup 1 sampai 1,5 baris saja. Bila kalimat sudah sempurna, beri titik. Sebaiknya kita hindari membuat kalimat panjang sampai beberapa baris. Kalimat pendek yang sudah lengkap dengan unsur utamanya (subjek dan prediket) lebih baik daripada kalimat panjang tapi belum lengkap dengan prediketnya.
Begitu juga dalam membuat paragraf. Dalam satu paragraf cukup terdiri dari 3 sampai 5 kalimat saja. Paragraf yang panjang hanya akan membuat lelah pembaca dan kapok, tidak lagi mau membaca tulisan kita. Kalaupun dia paksakan membaca, pesan yang kita maksudkan, tidak sampai kepadanya. Dalam satu paragraf 1 cukup satu pokok pikiran saja, jangan lebih. Itu akan membuat pembaca tidak fokus dan sulit memahami pesan kita.
Ketiga: Penggunaan Spasi dan Tanda Baca
Poin penting yang sering disepelekan khususnya oleh penulis pemula yaitu penggunaan spasi dan tanda baca. Tidak jarang yang mengabaikan hal ini. Bahkan mereka tidak nyaman jika ada yang terlalu cermat, detail dan ketat dalam mengomentari soal ini. Ya, banyak orang yang tidak peduli soal ini. Akan tetapi, kalau kita ingin benar-benar menjadi penulis, sebaiknya perhatikan poin yang satu ini. Penggunaan tanda titik dan koma yang tidak tepat akan membuat salah paham pembaca. Selain itu, hal ini juga menjadi perhatian dan pertimbangan bagi editor untuk menerima atau menolak tulisan kita, kecuali bila kita seorang ‘sultan’. Sultan mah bebas. Apa saja boleh.hahaha
Penggunaan spasi juga hal penting, khususnya bagi seorang editor. Editor tentunya enggan berlelah-letih mengedit tulisan kita. Kalau dalam penggunaan spasi saja tidak tahu dan tidak cermat, berarti si penulis dipertanyakan kapabilitas dalam menulis dan keseriusannya. Hal ini misalnya dalam penulisan “di”, antara prefiks (awalan) dan preposisi (kata depan). Banyak sekali penulis yang belum bisa membedakan antara keduanya. Begini sedikit saya jelaskan secara singkat.
Kata “di-“ sebagai awalan biasanya bertemu dengan kata kerja. Kata kerja yang diawali dengan “di-” awalan berarti bentuk pasif dari “me-“. Penulisan “di-” awalan tidak dispasi dengan kata setelahnya, misalnya: ditulis, dibuat, diminum, dilihat, dicium, diandalkan, dsb. Kata ini kebalikan dari menulis, membuat, meminum, melihat, mencium, mengandalkan, dan lain sebagainya.
Sedangkan “di“ sebagai kata depan (preposisi) biasanya bertemu dengan kata benda. Kata “di” preposisi sepadan dengan ke, dari, dengan, oleh, pada, sejak, sampai, seperti, untuk, buat, bagi, akan, antara, demi, hingga, kecuali, tentang, seperti, serta, tanpa, bersama, beserta, menuju, menurut, sekitar, selama, seluruh, bagaikan, terhadap, melalui, mengenai, daripada, oleh karena itu, antara… dengan, sejak… sampai. Penulisan “di“ kata depan harus dispasi (pisah) denga kata setelahnya, misalnya: di rumah, di Jakarta, di Cirebon, di bawah, di asrama, dan lain sebagainya. Mudah bukan membedakan antara dua “di”?
Selamat Menulis. Salam Literasi.