Cerpen: Dua Garis Merah (1)

0 0
Read Time:6 Minute, 53 Second

Oleh Eni Ratnawati

RumahBaca.id – Angin sore merambat sayup membelai keheningan. Tak banyak pergerakan terlihat di area itu selain geliat para pedagang kaki lima yang sejak pagi mangkal di sepanjang kanan-kiri jalan Manukan. Debu menari mengikuti irama angin. Satu-dua pejalan kaki bergerak cepat menuju pos-pos jaga di setiap pintu pabrik. Wajah-wajah canggung. Jelas mereka bukan para karyawan pabrik sekitar. Mungkin sales obat gatal, sales asuransi, atau boleh jadi para pencari lowongan. Karyawan pabrik baru akan keluar beberapa jam kemudian. Dan para pedagang masih berharap tambahan rezeki sebelum mereka pulang ke rumah. Seperak-dua lumayan juga, pikir mereka. 

Pemandangan sore di belakang pabrik plastik selalu tampak menawan. Langit seolah melimpahkan kemewahan dari negeri-negeri di atas awan. Di langit selatan awan merupa kapas raksasa, berundak-undak, lepas menghampar merayapi timur dimana jingga bersulur-sulur seperti selendang Drupadi. Cahaya langit yang cerah meruah menimpa genangan hitam berkelok mengikuti punggung-punggung pabrik. Bau busuk menyengat. Lalat-lalat tambun menyeruak. Bermacam sampah menggumpal, menyumpal di sudut-sudut. Sampah membuat aliran kali menjadi macet. Beberapa ibu tampak sigap mengambili sampah menggunakan galah. Pemandangan sore yang lumrah dan sudah sangat biasa.

“Masak sih, Bu? Kok rasanya nggak percaya si Erna itu sampe sejauh itu.” suara Bu RT sambil bersiap mengaduk satu sudut kali yang tersumbat.

“Bu Lis jangan asal menggosip, kudu jelas asal-usul beritanya.” sanggah Yani yang ada di antara dua Ibu paruh baya itu.

“Hora usah takon aku ngerti teko ngendi. Sing penting kan kabare iki kabar terbaru. Gress loh, Gaes. Sebentar lagi viral.” Bu Lis memutar-mutar bola matanya, sama persis seperti ia memutar-mutar bilah galahnya. Dengan cepat sampah menyangkut di kepala galah.

“Tak kandani sampean ya! Pernah nggak sampean dengar pepatah yang bilang, jangan lihat buku dari sampulnya saja?” Bu Lis mengangkat galah, mengambil sampah dan membuangnya di kantong plastik.

“Maksudnya, Bu?”

“Haduh haduuh, Bu RT ini gimana sih? Sampean itu selain RT kan ketua taklim. Mosok ketua taklim nggak ngerti yang begituan!” ekor mata Bu Lis melenggok ke sana ke mari.

“Maksudnya Bu, jangan menilai orang hanya dari penampilan luarnya saja!”

“Penampilan luar itu sing kayak gimana sih, Bu? Apa seperti Bu Lis yang suka aplod foto di sosial media begitu?” Yani menjinjit ekor bibirnya, melempar lirikan ke Bu erte. “Tas baru, cekrek. Daster baru, cekrek. Jalan ke mal, cekrek. Makan di restoran, cekrek. Di kondangan, cekrek. Di pengajian, cekrek. Apa yang kayak begitu itu?” Tak lupa Yani menirukan gaya tangan Bu Lis yang luwes saat memainkan hape.

 Bu Lis gelagapan. “Wes, menengo toh Yan! Nggak ngerti itu nggak usah banyak cingcong. Sekarang itu apa-apa kudu, cekrek.” imbuhnya sambil selfi bersama galah dan sebongkah sampah.   

“Tapi kan bisa saja Erna itu ke Mak Ipah untuk keperluan lain, Bu Lis.” Bu RT tertawa geli melihat kelakuan dua warganya.

“Lah, mosok si Erna itu jauh-jauh ke Mak Ipah cuma mau minta daun pandan? Opo kemangi? Wes toh yoo, podo percoyo! Sing jenenge Erna iku aborsi.” desis Bu Lis dengan mata jelalatan.

“Masalahnya Bu Lis, itu fiktif atau fakta? Kudu jelas asal-usul beritanya.”

“Cah iki! Jik ngieyele jian! Tak kandani koe Yo Yan, Yani! Rungokne! Jare Andrea Hirata sing bukune best seller kae, fiktif itu cara tepat menceritakan fakta. Lah koe penulis? Gayaem fiktif-fakta fiktif-fakta, he?!”

Pembicaraan ibu-ibu masih seru hangat, berputar dari Erna, Mak Ipah, melipir ke fiktif-fakta sampai Andrea Hirata.

“Ibu-ibu iki guyub tenan urusan sampah. Rame seru, sih Bu? Mbahas nopo?” tanya Tutik yang muncul belakangan.

Langit sore masih tampak memukau. Sebelum tandas seperti gelas-gelas di atas meja yang menyisakan ampas gelap.  

* **

Sudah empat hari itu Tutik tak berangkat kerja. Tak enak badan katanya. Matanya sayu, bibirnya kering. Wajahnya pucat dan pikirannya runyam. Jika bukan karena rengekan Nanda, putri kecilnya, berat rasa hatinya bangkit dari dipan. Jika diperhatikan lebih seksama, sakitnya Tutik bukan sakit biasa. Perempuan tigapuluh dua tahun itu tergolek lemas kehilangan urat hidup. Semangatnya yang luar biasa membara kempes seketika setelah dua garis merah menampar mata dan kesadarannya.

Jika kabar kehamilan oleh sebagian perempuan adalah sesuatu yang menggembirakan, lain halnya dengan Tutik. Istri Roman itu belum siap hamil lagi setelah hampir empat tahun yang lalu melahirkan Nanda yang begitu cantik dan menggemaskan.

Roman mengayuh becaknya melintasi gang sempit di antara gudang-gudang kelabu menuju pemukiman di belakang pabrik plastik. Langit sore masih tampak memukau dengan semburat jingga yang megah. Tak seperti biasanya, suasana sore yang meriah tak membuatnya ingin berlama-lama di jalanan. Roman ingin segera pulang. Ia tak sabar bertemu Tutik, Istrinya. Aroma kuah soto yang ia beli di warung perempatan menguar meracuni hidungnya, membuat perutnya yang lapar berkelontangan. Sumringah di wajah Roman yang tak biasa ditambah aroma soto yang juga tak biasa dibelinya adalah bentuk lain dari fakta bahwa Tutik istrinya  sedang ngidam.

“Tumben jam segini balik, Mas Roman?” tanya Yani tetangganya.

“Iyo, Mbak! Lagi pengen.” jawab Roman menyengir.

“Woooh, pengen opo kui?” suara Bu Lis menggeletar ikut menimpali.

“Lagek jam semene, Man, mbok yo ojo ngebut-ngebut toh.” Bu Lis cekikikan sambil mengedip-kedipkan sebelah matanya.

Di dalam rumah, rupanya Tutik sudah menunggunya dengan secangkir kopi dan seraut wajah masam. Tutik tak sendirian. Di pangkuannya, Nanda duduk sambil memain-mainkan boneka plastik yang tiga hari lalu Roman hadiahkan.

“Kenapa, Dik? Cemberut gitu. Capek?”

Roman meletakkan soto bawaannya, duduk di samping Tutik sambil memijit kaki istrinya.

“Capeknya bukan di situ, tapi di sini.” ujar Tutik sewot. 

Roman melongo. Ia tidak menduga istrinya masih juga belum bisa nerima kehadiran jabang bayi yang ada dalam perutnya. Berkali-kali mereka berbicara soal kehamilan yang tak diinginkan Tutik. Berkali-kali juga Roman mengingatkan istrinya untuk ikhlas, berpasrah pada Allah. Namun sikap Tutik tak menunjukkan adanya perubahan. Setiap suami-istri itu berbincang, ujung-ujungnya Tutik akan menyalahkan dan menyudutkan Roman.

“Tapi omongane ibu-ibu itu bener toh? Nanda itu masih kecil, belum empat tahun.” Tutik menatap wajah balitanya seperti meratap. “Belum saatnya dia punya adik. Dan lagi, apa kata orang kalau tahu sekarang aku hamil lagi?!”  

“Yang ikhlas toh, Dik nerima pandomane Gusti. Lagian yo ngapain ngurusi omongane orang-orang itu. Nggak akan ada habisnya! Anak itu titipane Gusti. Sampean lihat itu Mbak Yani, betapa pengennya dia punya anak.”

“Dua anak sudah cukup, Mas. Aku ora siap kalau Nanda punya adik lagi.”

“Iya, dua cukup.” cuap Roman datar. “Tapi tiga sunah, empat sehat, dan lima sempurna.” imbuhnya sambil menyengir.

“Nggedabrus! Buruh kayak kita ini nggak pantas punya anak banyak. Mau dikasih makan apa? Biaya sekolahnya bagaimana?”

Roman mengembuskan napas kuat-kuat. Hari itu seharusnya bukan hari yang melelahkan, tapi perdebatannya dengan Tutik membuat otot-otot sendinya mengaduh ngilu. Kepalanya pusing. Berdebat dengan Tutik memang tidak ada gunanya, pikir Roman. Istrinya itu selalu merasa paling benar.

“Aku itu pengennya ngurus Nanda sampai dia besar. Nggak direpotkan dengan yang lain. Urusan lain. Apalagi punya anak lagi. Haduh haduuuh. Ngelu siraku.” Tutik buru-buru mengurut pelipisnya. “Orang-orang itu bilang, Nanda ini punya bakat jadi bintang.”

“Orang-orang iku sopo? Bintang opo toh?” Roman menyeruput kopinya.

Bukan sekali-dua Tutik membahas mimpinya tentang Nanda yang kelak akan menjadi bintang terkenal.

“Bintang kui loh, sing nyanyi di tipi-tipi.”

“Nggedabrus!”

“Eh, Mas, jare ibu-ibu kae si Erna aborsi loh.” Tutik berbisik seolah takut suaranya merembes melalui pori-pori dinding rumah. Sejenak itu matanya berkilat, atau berbinar, tampak aneh setelah keluh-kesahnya yang dalam dan menyesakkan.

Roman menoleh cepat. “Terus?” Tatapan mata Roman lekat pada wajah Tutik. “Jangan mikir yang enggak-enggak. Ketimbang sibuk dengerin omongane tetangga, mending fokus sama Nanda!”

Tutik melengos. Kilat aneh di matanya pupus seketika. Belum juga bilang apa-apa tapi suaminya itu sudah menyemprot tak kenal ampun. Berbicara dengan Roman memang tidak asyik, apalagi menggosip, begitu pikirTutik.  

“Lah piye Nanda? Sudah bisa pipis hari ini?” tanya Roman sambil mengangkat Nanda ke gendongan.

Diciumnya pipi Nanda dengan gemas. Ada perasaan was-was. Sudah hampir seminggu ini setiap kali Nanda ke kamar mandi bawaannya nangis terus. Bayi itu tidak hanya kesulitan buang air kecil, tetapi juga tidak bisa buang air besar. Bermacam resep herbal sudah Roman tebus, namun kondisi Nanda belum juga membaik. Roman meloloskan napas berat. Dalam keadaan Nanda seperti itu, sempat-sempatnya Tutik mengutip gosip.

***

Hayo, pada penasaran sama kisah Nanda, kan?

Oh ya, Jangan lupa komen dan share ya, gaes.

About Post Author

Editor: Masyhari

Founder rumahbaca.id, pembina UKM Sahabat Literasi IAI Cirebon
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Bagikan tulisan ke:

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RumahBaca.id