Oleh Hamzah Sahal, Founder Alif.id
PAGI itu, kelas lima SD memulai sekolah luring, setelah dua tahun sekolah daring. Pada jam pertama, para siswa diminta bercerita kegiatan mereka di rumah setelah bangun tidur. Sekolah ini memang terkenal dengan pendidikan karakternya. Para alumninya dikenal memiliki kepercayaan diri yang tinggi, akhlak yang bagus, kepekaan pada sosial dan lingkungannya. Karakter sekolah ini, antara lain, dibangun melalui ekspresi bercerita.
Anas mengacungkan jari untuk yang pertama bercerita. Dengan setengah berteriak, dia menceritakan bangun pagi pukul lima tiga puluh.
“Aku langsung salat Subuh ditemani bibi,” kata Anas yang duduk di tengah.
“Kenapa tidak salat sama ayah dan ibu?” tanya Ibu Guru.
“Ayah aku sudah berangkat kerja. Ibuku sudah meninggal 40 hari lalu, waktu melahirkan dede bayi,” jawab Anas.
Ibu Guru tampak kaget, tetapi dia juga takjub, karena anak didiknya menjawab lebih dari yang ditanya, dan tanpa rasa sedih. Padahal yang dia ceritakan adalah berita duka. Ibu Guru terdiam sejenak, tetapi kemudian dia mempersilakan murid lain berbicara, “Ya, Bunga silakan. Pasti kamu punya cerita bagus?”
“Terima kasih, Bu. Bangun tidur, aku dan kakak merapikan sarung kakek. Tadi malam, sarung kakek dipakai untuk selimut aku dan kakak…”
“Waow. Hebat sekali! Tapi kenapa pakai sarung untuk selimut?” Ibu guru merespon.
“Iya, Bu. Karena kata Ayah, kalau kangen kakek, tidur pakai sarung kakek,” jawab Bunga yang pagi itu memakai bandana berwarna putih.
“Wah, memang kakek kamu tinggal di mana? Pasti jauh dan karena wabah Covid belum bisa berkunjung ya?” Ibu Guru mencoba menggali informasi lebih.
Bunga sedikit terlihat kaget, seperti tidak siap mendapat pertanyaan lanjutan. Tetapi karena teman sebangku menyenggol sikunya dan Ibu Guru mendekat ke mejanya, Bunga pun menjawab:
“Tidak, Bu. Aku dan kakek tinggal bersama. Tapi kakek sudah almarhum, pas waktu Idul Fitri.”
“Nenek kami meninggal bulan Ramadan, Bu Guru,” kata Kembang, yang duduk satu bangku bersama Bunga. Keduanya, Bunga dan Kembang, tak lain saudara kembar.
Bahasa tubuh Ibu Guru mulai agak berbeda. Dia mundur beberapa langkah mendekati papan tulis. Tapi kemudian maju lagi sambil tangannya menyentuh meja, di mana ada Bunga dan Kembang. Langkah berikutnya mendekati mejanya sendiri. Tangannya meraih tumbler hitam bergambar masker. Rasa canggung terasa. Murid kelas satu berjumlah lima belas siswa dan siswi itu mulai kehilangan fokus. Lima belas menit pertama berisi berita duka plus gerak-gerik Ibu Guru membuat suasana kelas jadi hambar.
Anak-anak mulai ramai. Tapi tiba-tiba, suara laki-laki yang duduk di belakang Bunga dan Kembang mengacungkan tangan.
“Bu, Raka mau cerita,” kata Ahmad menyuarakan temannya.
Si Raka yang duduk sebelahnya malu-malu. Raka berusaha menghindar, tangannya menunjuk-nunjuk Ahmad. Raka bilang, Ahmadulah yang ingin bercerita. Ibu Guru sambil meletakkan tumblernya sambil duduk. Sejurus kemudian dia mempersilakan Raka berbicara. Raka tetep menolak bercerita. Dia mendorong-dorong Ahmad.
“Kamu saja yang cerita. Seperti yang aku WA ke kamu,” katanya pada Ahmad.
“Bu, sekarang Raka dan adiknya tinggal di rumah omnya. Karena ayahnya yang dokter dan ibunya yang perawat sudah meninggal. Lihat aja di Youtube, Bu…” kata Ahmad.
Raka yang mendengar itu menutup wajahnya dengan buku. Pandangan Ibu Guru dan empat belas muridnya tertuju pada Raka.
Ibu Guru ingin mendekat ke Raka dan memeluknya, tetapi lututnya bergetar. Dia tidak kuat lagi mendengarkan kisah-kisah kematian dari anak muridnya. Dia sendiri kembali mengingat suaminya yang meninggal saat isoman, enam bulan lalu. Suaminya memang masih muda, baru 34 tahun, tetapi almarhum punya penyakit asma. Suaminya tidak tertolong, karena oksigen yang biasa tersedia di rumah tidak ada. Suaminya mengembuskan nafas terakhir di pangkuannya dan anak bayi laki-lakinya berusia berusia dua bulan.
Ibu Guru sedih bukan kepalang. Kehidupannya seperti runtuh. Bagaimana tidak, dia bersama suami dan dua anaknya sedang senang-senangnya menjalani kehidupan rumah tangga.
Sebelum kematian itu datang, keluarga Ibu Guru hendak pindah dari mertua ke rumah yang barunya. Suaminya sudah mempersiapkan pindahan dan selametan rumah sambil mengakikahkan anak keduanya. Rencana ini sudah dikabarkan ke semua keluarga di kampung. Bapaknya Ibu Guru atau bapak mertua dari suami, yang merupakan peternak kambing, sudah memilih kambing terbaik untuk akikahan cucu pertamanya yang ada di kota. Kedua mertua Ibu Guru atau orang tua almarhum suaminya pun demikian, sudah ikut mempersiapkan pindahan rumah dan menyambut kelahiran cucu kesekiannya. Tidak seperti orang tuanya yang tinggal di luar kota, rumah mertua Ibu Guru ada di Cinere, masih satu kampung, bahkan dekat dengan sekolah tempatnya mengajar, cuma 10 menit jalan kaki. Rumah yang baru dibangun itu, tanahnya berasal dari pemberian mertuanya atau orangtua almarhum suami. Ketika rumah itu dibangun, yang sibuk mengawasi pembangunan adalah mertua Ibu Guru, karena dirinya tiap hari ngajar via zoom, sementara bekerja di semua media daring desainer.
“Ibu Guru kenapa? Kok menangis? Jangan bersedih. Aku saja tidak menangis lagi,” kata Raka.
Anas yang pada awal bercerita ibunya meninggal saat melahirkan ikut bicara lagi, “Kata Ayah, kalau sedih atau kangen, kita berdoa saja.”
Ibu Guru lalu bangkit dari tempat duduknya. Dia mendekati tempat duduk muridnya dan berkata pendek: “Mari kita kirim doa untuk orang-orang yang kita cintai.”